Global Green Growth Institute (GGGI) mendukung Pemerintah Indonesia dalam mengidentifikasi potensi pengurangan emisi gas rumah kaca dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) terapung. Diharapkan pengurangan emisi tersebut dapat memenuhi syarat dalam perdagangan karbon internasional, di mana keputusan untuk bertransaksi tetap ditentukan oleh pemerintah.
Dukungan GGGI diberikan dalam bentuk studi teknis untuk menjajaki peluang pendanaan karbon melalui proyek Designing Article 6 Policy Approaches (DAPA) dengan pendanaan dari Kementerian Iklim dan Lingkungan Hidup Norwegia, dan proyek Renewable Energy-Accelerated Transition (RE-ACT) dengan pendanaan dari Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Selandia Baru. Kedua inisiatif ini didukung oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Inisiasi studi ini ditandai dengan pertemuan awal di Jakarta yang dihadiri oleh lintas lembaga. Tujuan studi ini adalah untuk mengidentifikasi Internationally Transferred Mitigation Outcomes (ITMOs) yang dapat diperdagangkan di bawah Artikel 6.2 Perjanjian Paris, yang merupakan bagian dari tujuan proyek DAPA.
Menurut Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC), Artikel 6 membuka peluang kerja sama internasional untuk mengatasi perubahan iklim dan membuka dukungan finansial bagi negara-negara berkembang. Ini berarti, berdasarkan Aritkel 6, negara-negara dapat mentransfer kredit karbon yang diperoleh dari pengurangan emisi gas rumah kaca untuk membantu satu atau beberapa negara lainnya memenuhi target iklim mereka.
Studi ini akan berfokus kepada pembangkit listrik tenaga surya terapung (FSPV) di bendungan-bendungan yang dikelola oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Pada pertemuan ini, GGGI Indonesia menyoroti identifikasi peluang proyek FSPV di bendungan, diikuti dengan penilaian tentang bagaimana pembiayaan karbon dapat meningkatkan kasus bisnis proyek-proyek yang nilai komersialnya masih rendah, seperti PLTS terapung.
Indonesia telah mempertimbangkan FSPV sebagai alternatif yang layak untuk mendukung upaya transisi energinya. FSPV memanfaatkan badan air untuk memasang panel listrik tenaga surya – sebuah keuntungan yang dapat dimanfaatkan oleh Indonesia, mengingat Indonesia adalah negara kepulauan dengan banyak badan air. Namun, masih ada beberapa tantangan implementasi FSPV, seperti tantangan regulasi, teknis, dan komersial.
Melalui serangkaian konsultasi serupa, GGGI melalui dukungan proyek RE-ACT, mendukung Kementerian ESDM dalam memperbarui dokumen Panduan Perencanaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya yang diterbitkan pada tahun 2021. Panduan ini akan menguraikan analisis teknis, lingkungan, dan biaya untuk menerapkan proyek PLTS terapung yang berkelanjutan dan inklusif, dan pada saat yang sama, membantu memobilisasi investasi publik dan swasta untuk proyek-proyek tersebut. Menetapkan peraturan yang jelas dan mendukung akan sangat penting dalam membuka potensi penuh FSPV dan mempercepat transisi Indonesia menuju masa depan energi yang berkelanjutan.
Perwakilan dari Direktorat Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian ESDM menekankan pentingnya memenuhi Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia di sektor energi sebelum mempertimbangkan perdagangan hasil mitigasi sektor ini yang bersumber dari pembangkit listrik tenaga surya terapung.
Pada pertemuan tersebut, GGGI Indonesia menyoroti identifikasi peluang proyek FSPV di bendungan, diikuti dengan penilaian tentang bagaimana pembiayaan karbon dapat membantu kasus bisnis proyek yang cenderung tidak layak secara komersial.
Hasil dari inisiatif ini akan menghasilkan wawasan yang dapat ditindaklanjuti yang akan mendorong pengembangan PLTS terapung di Indonesia dan berkontribusi pada transisi energi dan ambisi iklim negara.