Pada tanggal 17 Juni 2020, Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia (LAN RI) bekerja sama dengan Global Green Growth Institute (GGGI) untuk mengadakan Sarasehan Kepemimpinan Berempati yang keempat dan kali ini diadakan secara daring. Sarasehan tersebut mengangkat isu mengenai inklusi sosial dalam pengelolaan bencana dan diikuti oleh peserta dari berbagai lembaga dan institusi pemerintah, seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Dinas Lingkungan Hidup, dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta lembaga terkait lainnya. Totalnya, peserta yang hadir dalam sarasehan mencapai 85 orang.
Sarasehan ini bertujuan untuk mengasah empati para pembuat kebijakan, khususnya bagi kebijakan yang berkaitan dengan mitigasi dan adaptasi terhadap bencana yang melibatkan kelompok rentan serta marjinal. Saat bencana datang, kelompok rentan yang meliputi perempuan, anak-anak, difabel dan lansia merupakan kelompok yang paling terdampak akibat keterbatasan struktural dan historis yang mereka hadapi di masyarakat. Maka dari itu, kebijakan yang bertujuan untuk menangani bencana perlu mempertimbangkan kelompok yang membutuhkan penanganan spesifik demi memastikan akses layanan bencana yang sama namun dikhususkan.
Menurut Bapak Basseng, Deputi Bidang Penyelenggaraan Pengembangan Kompetensi, LAN RI, Sarasehan Kepemimpinan Berempati sudah diadakan empat kali, dan yang kali ini unik karena dilaksanakan di dunia maya namun tetap mempertemukan pembuat kebijakan dengan mereka yang merasakan efek kebijakan. Selain itu, keunikan dari sarasehan ini adalah inklusivitas di mana para Aparatur Sipil Negara (ASN) yang biasanya berbicara sebagai narasumber bertukar posisi dan mendengarkan masyarakat. Narasumber yang diundang berasal dari warga Pondok Gede Permai (PGP) Jatiasih yang sering terdampak parah oleh banjir di sekitarnya. Menurut Bapak Imam, salah satu warga PGP, banjir kali ini lebih parah dari yang sering terjadi sebelumnya.
Para peserta yang kemudian mendengarkan pengalaman Imam, Erna, Resti, dan Mbah Jambrong dari Jatiasih sedang dipaparkan oleh sebuah metode pembelajaran yang dinamakan experiential learning. Menurut fasilitator sarasehan, Yulia Sugandi, dengan metode pembelajaran tersebut, cerita mengenai pengalaman dan persepsi warga dapat menjadi masukkan dalam perumusan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy). Beliau menambahkan bahwa cerita-cerita warga Jatiasih juga menunjukkan bahwa kelompok rentan bukan berarti lemah karena mereka pun bergerak untuk menghadapi bencana dengan sendirinya. Namun, dengan kebijakan struktural dan fundamental yang tepat, upaya mereka dapat dibantu dengan baik.
Baca lebih lanjut tentang sarasehan di: https://tirto.id/kisah-dari-bekasi-mengasah-empati-para-pembuat-kebijakan-fKL6