Menuju Masa Depan Teknologi dan Kewirausahaan Iklim di Indonesia



Dalam mendukung Pemerintah Indonesia dalam mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC) target di 2030, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan Indonesia, berkolaborasi dengan Kementerian Ekonomi dan Keuangan, Republik Korea mengadakan sebuah lokakarya berjudul “Accelerating Climate Technology and Entrepreneurship” pada 4 Februari 2021.

 

Transfer teknologi antar negara adalah salah satu kunci untuk menghadapi tantangan iklim. Menurut Laksmi Dhewanthi, Penasihat Senior untuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia, hal tersebut merupakan salah satu modalitas yang Indonesia butuhkan dari internasional, selain dukungan finansial dan peningkatan kapasitas, untuk mencapai target 41% pengurangan emisi di tahun 2030. Yudi Anantasena dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menyatakan bahwa Indonesia saat ini memiliki kesenjangan teknologi di sektor energi, kehutanan, dan pengolahan sampah untuk mitigasi, serta ketahanan pangan, perlindungan pesisir, dan air untuk adaptasi. Mengakui tidak mulusnya jalan untuk mengkomersialisasi teknologi baru, ia menyampaikan harapannya bagi komunitas internasional dan swasta untuk mendukung pemerintah dalam memenuhi kesenjangan ini.

 

Memenuhi kesenjangan teknologi iklim Indonesia membutuhkan upaya bersama dari pemerintah, sektor swasta dan komunitas internasional untuk mengakselerasi perkembangan dan transfer teknologi iklim. Untungnya, Indonesia telah menjadi lahan yang subur bagi startup dan ekonomi digital pada umumnya. Pada tahun 2019, Indonesia memiliki ekonomi digital terbesar kedua di Asia Tenggara setelah Singapura, dan diprediksi untuk menjadi yang tertinggi dengan USD124 miliar di tahun 2025. Para startup ini, dengan kemajuan teknologinya, telah sangat menguntungkan Indonesia termasuk dalam aksi iklim. Cakupan inovasinya sangat luas mulai dari sektor energi terbarukan dan efisiensi energi, smart agriculture, hingga pengolahan sampah terintegrasi dan ekonomi sirkular.

 

Hampir seluruh panelis dari sektor swasta setuju bahwa Indonesia saat ini sedang mengalami gelombang innovator teknologi baru yang peduli dengan isu Environmental, Social and Corporate Governance (ESG). Joshua Agusta dari PT Mandiri Capital, menyampaikan bahwa para innovator baru ini telah membuka berbagai kesempatan pendanaan yang menarik bagi Mandiri Capital dan perusahaan investasi lainnya. Mereka dilengkapi oleh gelombang baru angel investor yang juga ingin diikutsertakan dalam investasi dampak. Para angel investor ini, seperti yang digambarkan oleh Shinta Kamdani dari Angel Investment Network Indonesia (ANGIN), tidak sepenuhnya didorong oleh keuntungan finansial melainkan lebih didorong oleh kontribusi terhadap pencapaian dampak lingkungan dan sosial.

 

Munculnya para inovator dan investor ini sebaiknya didukung oleh kebijakan dan regulasi yang baik dari pemerintah. Beberapa tantangan juga dikemukakan oleh Dae Hyun Kim dari INGINE, perusahaan teknologi energi terbarukan. Ia menyebutkan bahwa Indonesia butuh regulasi yang kuat dalam perlindungan property intelektual dan prosedur izin untuk meningkatkan kepercayaan diri investor dalam melakukan pengembangan dan transfer teknologi.

 

Terkait dengan kesiapan perusahaan, Yudi Anantasena dari BPPT dan Jeong Tae Kim dari Merry Year Social Company (MYSC), perusahaan inkubator dan konsultansi inovasi sosial, juga mengungkapkan hambatan dan solusi yang mulai muncul. Berdasarkan data BPPT, tidak banyak inovasi teknologi yang mencapai titik komersialisasi dikarenakan keprematuran dari produk dan manajemen perusahaan. Di saat yang bersamaan, Jeong Tae Kim juga menyebutkan bahwa ketersediaan blended finance dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, akan mendorong pengembangan dan riset dari berbagai startup baru.

 

Dalam semangat kemitraan untuk menanggulangi tantangan global, negara-negara seperti Republik Korea menawarkan bantuan internasional untuk negara mitra seperti Indonesia. Sun Yi Lee dari Kementerian Ekonomi dan Keuangan Republik Korea menjelaskan Green New Deal Official Development Assistance (ODA) milik Korea yang dapat berperan sebagai modalitas lainnya untuk mendukung transfer teknologi antar negara. Jung Wan Ryu dari Korea Eximbank juga mendukung komoitmen ini. Mereka telah mendukung Pemerintah Indonesia dalam berbagai proyek, seperti sistem manajemen air pintar di Semarang dan suplai air Bendungan Karian di Jakarta.

 

Skema transfer teknologi yang sukses, yaitu yang menguntungkan secara mutual bagi penyedia dan penerima teknologi, perlu memiliki lingkungan pendukung yang kuat dimana kedua pihak dapat bersama-sama mengembangkan teknologi dalam kerja sama yang baik dari segi keuangan dan keberlanjutan. The Collaborative Research, Development, and Business (R&DB) Programme for Promoting the Innovation of Climate Technopreneurship, yang sedang dikembangkan oleh KDB dan GGGI, ingin menyediakan solusi dengan mempromosikan skema kolaborasi Joint Venture (JV) antar perusahaan di negara maju dan berkembang. Hal tersebut juga didukunug oleh program inkubasi yang dipimpin oleh negara, dana investasi bersifat blended finance dan berbagai aktivitas pendampingan teknis sebesar USD100 juta.

 

Secara keseluruhan, Indonesia sepertinya akan mewujudkan peramalan ekonomi digitalnya untuk menjadi yang terbesar di Asia Tenggara pada 2025. Teknologi iklim akan menjadi bagian dari ekonomi raksasa ini dan harapannya dapat membagikan efeknya pada usaha mitigasi dan adaptasi iklim Indonesia. Merupakan tanggung jawab para pemangku kepentingan di Indonesia untuk dapat mengambil kesempatan ini dan membantu mengakselerasi penerapan teknologi iklim di negara ini.

 

Rekaman acara dapat diakses di laman Youtube BKF Kemenkeu.