Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menyadari bahwa NTT adalah salah satu daerah yang memiliki sedikit atau bahkan tidak ada infrastruktur jaringan listrik.
NTT memiliki tingkat elektrifikasi sebesar 59%, yang sangat rendah dibandingkan dengan rata-rata nasional sebesar 93% per Juni 2017. Selain itu, bauran energi mereka saat ini didominasi oleh tenaga diesel yang menyediakan sekitar 86% dari kebutuhan energi di kawasan itu. Padahal pada kenyataannya, NTT memiliki potensi ketersediaan energi matahari yang tinggi dengan penyinaran reguler lebih dari 50 persen selama 8 jam per hari dan juga dari musim kemarau panjang yang berlangsung 9 bulan per tahun. Oleh karena itu, pemerintah memutuskan untuk mengatasi tantangan elektrifikasi dan untuk mendorong kemajuan berkelanjutan pada sektor energi di NTT dengan mempromosikan pengembangan panel surya fotovoltaik (solar PV) di provinsi ini.
Delapan lokasi strategis diidentifikasi dalam perjanjian antara Pemerintah NTT dengan PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk mengembangkan proyek percontohan. Gubernur NTT, Frans Lebu Raya, mengarahkan pengembangan proyek dengan visi untuk mengurangi konsumsi diesel dan emisi CO2 di provinsi ini, sekaligus mengurangi biaya operasional PLN.
Selain itu, salah satu persyaratan penting untuk memenuhi sekitar 32 persen kebutuhan listrik rumah tangga yang belum terpenuhi di NTT adalah kemampuan untuk menyediakan peluang replikasi dengan membangun penerimaan masyarakat terhadap solusi hibrida solar PV ini, termasuk mengakui risiko utama pada tahap pengembangan untuk mengurangi risiko proyek berikutnya dan untuk menarik lebih banyak investasi untuk pembangkit listrik terbarukan.
Global Green Growth Institute (GGGI) ditugaskan untuk merancang proyek dan membuktikan kelayakan teknis dan finansial untuk pengembangan ini. Berfokus pada model hibrida yang menggabungkan solar PV dengan listrik tradisional berbasis grid yang sudah ada, hasil utama dari analisis pra-kelayakan yang dilakukan GGGI menunjukkan bahwa fasilitas hibrida dengan sistem penyimpanan energi di delapan situs tersebut akan dapat mengurangi konsumsi diesel sebesar 236 juta liter atau setara dengan pengurangan total emisi 549.300 CO2 selama 20 tahun.
Ini juga berarti potensi penghematan untuk PLN sekitar USD 125 juta selama 20 tahun. “Tingkat elektrifikasi NTT yang rendah mendorong kami untuk menemukan solusi demi memenuhi tuntutan kawasan. Kita tidak bisa lagi mengandalkan alat-alat tradisional. Ada peluang untuk mengisi kekosongan ini dari sumber terbarukan, seperti matahari,” kata Asisten II Sekretariat Daerah NTT, Alexander Sena.
Sena menambahkan, “Studi pra-kelayakan yang dilakukan oleh GGGI menunjukkan bahwa proyek solar PV hibrida ini layak secara finansial. Maka, investasi sektor swasta sangat penting untuk pelaksanaan proyek.” Gubernur NTT juga menunjukkan apresiasinya dalam surat kepada GGGI, di mana beliau merekomendasikan GGGI untuk melibatkan sektor swasta yang strategis untuk pelaksanaan proyek.
Dengan demikian, GGGI membuka Expression of Interest untuk menjaring minat sektor swasta untuk mengambil alih hasil studi dan mengembangkannya lebih lanjut. Sebuah konsorsium yang terdiri dari Engie Asia Pacific Co. Ltd. dan PT Arya Watala Capital terpilih dalam proses akhir. Pada 21 Februari 2018, Pemerintah NTT secara resmi menyerahkan laporan studi pra-kelayakan kepada konsorsium tersebut, dalam upacara serah terima di Hotel JS Luwansa, Jakarta.
Acara ini berfungsi sebagai tonggak penting yang menandai kesuksesan pelibatan sektor swasta dan investasi hijau untuk mengembangkan proyek solar PV hibrida di NTT.
Country Representative GGGI Indonesia, Marcel Silvius mengatakan, “Saya senang bahwa dengan proyek ini kami telah dapat memenuhi salah satu tujuan GGGI Indonesia untuk membawa proyek ini ke fase bankable dan memastikan keterlibatan investor untuk pengembangan lebih lanjut di luar studi pra-kelayakan dan tahap kasus bisnis”.
“Serah terima ini menandai awal dari model hibrida energi terbarukan yang menjanjikan untuk mengurangi konsumsi diesel, yang diharapkan dapat direplikasi dan ditingkatkan di masa depan”.
Setelah serah terima, Engie dan Watala berencana untuk melakukan studi kelayakan penuh sambil menunggu PLN membuka tawaran (bid) untuk melaksanakan pengembangan aktual dari proyek solar PV hibrida di NTT.
“Visi ENGIE untuk mengurangi, mendigitalkan dan mendesentralisasikan karbon sejalan dengan tujuan proyek solar PV di NTT. Kami senang bekerja sama dengan Watala untuk menyediakan energi bersih bagi masyarakat NTT,” kata Kepala Perwakilan ENGIE untuk Indonesia, Johan De Saeger.
CEO Watala, Aria Witoelar, juga menggarisbawahi pentingnya memanen energi matahari dan menambahkan, “Kita harus berhenti membakar diesel untuk listrik pada siang hari ketika matahari bersinar.”
Dengan dunia yang mulai menggeser portofolio energinya ke arah emisi rendah karbon untuk memerangi perubahan iklim, diharapkan bahwa masa depan rendah karbon akan didominasi oleh perpaduan berbagai opsi energi, beberapa di antaranya menggabungkan sistem tradisional yang ada dengan sumber terbarukan.
Dengan demikian, Gubernur NTT berharap bahwa keberhasilan pelaksanaan proyek ini tidak hanya akan menciptakan lapangan kerja lokal tetapi juga mendorong tenaga kerja untuk belajar teknologi maju sehingga meningkatkan kualitas sumber daya manusia provinsi secara keseluruhan. Proyek ini juga diharapkan untuk mendorong lebih banyak investasi hijau dan membuka jalan menuju pertumbuhan hijau berkelanjutan di provinsi ini.